1A111223
Tugas IBD
Contoh Fabel
Angkaro dan Tunturana
Dua kor kepiting, Angkaro dan Tuturana, bersahabat karib. Mereka tinggal bersama di pinggir laut, di balik bebatuan. Mereka
bersembunyi karena takut pada orang-orang yang mencari ikan dan
kepiting. Apabila laut pasang, mereka bermain tanpa takut akan ditangkap
manusia.
Pada suatu malam, ketika bulan purnama, Angkaro dan Tuturana keluar menikmati keindahan alam.
” Sahabat, bagaimana kalau kita hiasi punggung kita agar kelihatan menarik ?” kata Angkaro.
”Bagus sekali idenya. Kita memang perlu mempercantik diri agar kelihatan menarik. Tapi, bagaimana caranya ? ” tanya Tuturana.
”Bagini.”sahut Angkaro, ”Kita lukis punggung kita dengan cat warna-warni yang menarik.”
” Wah, menarik sekali.Bagaimana kalau aku dulu yang dilukis. Boleh atau tidak ? tanya Tuturana.
”Baiklah.”kata Angkaro.
Angkaro mulai mengukir punggung Tuturana. Punggung Tuturana dihiasi dengan bulatan-bulatan dari muka ke belakang, dan dari atas ke bawah. Lukisan itu sangat mempesona.
”Sudah selesai sahabat.”kata Angkaro.
Tuturana bercermin pada di air laut yang jernih.
“Bagus, bukan?”tanya Angkaro.
“Bagus sekali. Terima kasih sahabat.”kata Tuturana,
”Sekarang giliranku.”kata Angkaro.
Tiba-tiba
air laut surut. Datanglah pencari ikan membawa obor. Kedua ekor
kepiting itu pun terkejut. Berlarilah mereka untuk menghindari bahaya.
”Maaf, sahabat. Orang-orang sudah datang untuk menangkap kita. Tidak ada waktu lagi untuk melukis punggungmu.” kata Tuturana.
”Tidak punggungku harus kamu ukir !” teriak Angkaro.
Melihat
obor-obor semakin dekat, Tunturana menggambari punggng Angkaro dengan
dengan kuas dan cat tanpa bentuk. Punggung Angkaro sekarang penuh dengan
garis tidak karuan karena tergesa-gesa hendak menyelamatkan diri.
Angkaro terpaksa menerima keadaan. Keduanya berkawan dalam bentuk yang amat berbeda: Tuturana cantik dan Angkaro jelek.
Sumber : Aku Cinta Bahasa Indonesia kelas IV , Tiga Serangkai
Contoh Legenda
Legenda Batu Menangis
Di
sebuah bukit yang jauh dari desa, di daerah Kalimantan, hiduplah
seorang janda miskin dan anak perempuannnya. Anak gadis janda itu sangat
cantik jelita. Namun sayang, dia memiliki perangai yang buruk. Gadis
itu amat malas, tidak pernah membantu ibunya bekerja. Kerjanya hanya
bersolek setiap hari.
Suatu
hari, anak gadis itu diajak ibunya turun ke desa untuk berbelanja.
Letak pasar desa itu amat jauh sehingga mereka harus menempuh perjalanan
yang jauh. Anak gadis itu berjalan melenggang dengan dengan memakai
pakaian yang bagus dan
bersolek agar dikagumi kecantiknnya. Sementara, ibunya berjalan di
belakangnya sambil membawa keranjang dengan memakai pakaian yang dekil.
Karena mereka hidup ditempat yang terpencil, maka tak seorang pun tahu
bahwa kedua perempuan yang berjalan itu adalah ibu dan anak.
Ketika
mulai memasuki desa, orang-orang desa memandangi mereka. Orang – orang
terpesona melihat kecantikan anak gadis itu, terutama pemuda desa.
Namun, saat melihat orang yang berjalan di belakang anak itu, sungguh
kontras keadaannya. Hal ini membuat orang bertanya-tanya.
Diantara orang yag melihat itu, seorang pemuda mendekati dan bertanya kepada gadis itu.
” Hai, gadis cantik. Apakah yang berjalan di belakangmu itu ibumu?”
Namun apa jawaban gadis itu?
“Bukan, “katanya angkuh.” Ia adalah pembantuku.”
Kedua ibu dan anak itu kemudian meneruskan perjalanan. Tak seberapa jauh, mendekat lagi seorang pemudadan bertanya kepada gadis itu.
”Bukan, bukan.”jawab gadis itu dengan mendongakkan kepalanya. ” Ia adalah budakku.”
Begitulah
setiap ada seseorang yang menanyakan perihal ibunya, selalu jawabannya
begitu. Pada mulanya mendengar jawaban putrinya yang durhaka itu, si ibu
masih bisa menahan diri. Namun setelah berulang kali didengarnya
jawaban yang sama, akhirnya si ibu yang malang itu tidak dapat menahan
diri. Si ibu berdoa :
”Ya Tuhan, hamba tak kuat menahan hinaan ini. Anak kandung hamba tega memperlakukan hamba seperti ini. Ya Tuhan, hukumlah anak hamba! Hukumlah ....”
Atas
kuasa Tuhan, perlahan-lahan tubuh gadis durhaka itu berubah menjadi
batu. Perubahan itu dimulai dari kaki. Ketika perubahan itu telah
mencapai setengah badan, anak gadis itu menangis dan memohon ampun
kepada ibunya.
”Oh, Ibu.Ibu Ampuni saya, ampunilah kedurhakaan anakamu selama ini. Ibu...Ibu...Ampuni anakmu.”
Anak
gadis itu terus meratap dan menangis memohon kepada ibunya. Akan tetapi
semua telah terlambat. Seluruh tubuh gadis itu akhirnya berubah menjadi
batu. Sekalipun menjadi batu, namun orang dapat melihat bahwa kedua
matanya masih menitikkan air mata., seperti sedang menagis.
Sumber : Kumpulan Cerita Rakyat Nusantara: Pustaka Agung Harapan
Contoh Dongeng
Pogi yang Malang
Pogi
adalah pemuda yang malas. Kerjanya hanya makan, tidur, dan
bermain-main. Ayah dan ibunya tidak melarang sebab mereka adalah
keluarga kaya. Apa saja kemauan Pogi selalu dituruti.
Suatu
pagi, Pogi pergi bermain ke hutan. Di tengah perjalanan ia bertemu
dengan seorang pengembara yang membawa lima karung yang berat.
”Hai, pemuda ! Maukah kau menolongku membawa karung ini ke kota ? ”tanya pengembara itu.
Pogi pura-pura tidak mendengar. Ia tetap berjalan perlahan sambil mengamati tumbuhan.
”Nak, aku akan memberimu salah satu dari kantong ini. Silahkan pilih!”
Pogi
masih pura-pura tidak mendengar. Huh! Tadi minta tolong sekarang malah
mau memberi karung. Paling-paling isinya Cuma sampah, bati Pogi.
”
Anak muda, karungku yang bertali merah ini berisi ramuan obat segala
penyakit, sedangkan yang bertali biru berisi bibit padi segala musim.
Atau kamu mau karung dengan tali berwarna putih? Ini berisi kain sutera
pilihan, yang bertali hijau berisi aneka macam penyedap masakan, dan
yang berwarna kuning berisi emas permata. Nah, pilihlah salah satu!”
”Ah, baiklah.”kata Pogi semangat. ”Aku pilihyang berwarna kuning aja.”
”Apakah kamu yakin karung ini membawa keberuntungn bagimu?”
”Sangat yakin. Sudahlah, cepat berikan. Aku tidak sabar membawanya pulang .”omel Pogi .
Pengembara
itu menyerahkan karung yng bertali kuning. Pogi langsung membawa karung
itu pergi tanpa berterima kasih. Setelah agak jauh, dibukanya karung
itu. Ah, betapa gembiranyaPogi saat melihat banyak emas di dalamnya.
Pogi lalu melanjutkan perjalanan pulang.
Tiba-tiba...
”Pokoknya kalau bertemu orang kaya, kita rampok saja.” kata salah satu orang.
Pogi
yang mendengar suara itu, cepat-cepat bersembunyi. Setelah kedua orang
itu berlalu, Pogi segera keluar dari persembunyiannya. Ia meneruskan
dengan tergesa-gesa dan takut. Sampailah Pogi di tepi sungai. Di tempat
penyeberangan itu tampak sepi. Hanya ada tiga penarik perahu.
”Sepi sekali hari ini.”ujar yang bertubuh paling kecil.
”Benar tidak seperti bisanya.” jawab yang berambut keriting.
”Bagaimana kalau kita rampok saja orang yang menyeberang dengan perahu kita ini ?” tanya yang bertubuh kekar.
Ketiga
penarik perahu tertawa terbahak-bahak. Mendengar hal itu Pogi semakin
ketakutan. Diambilnya jalan pintas. Pogi berenang menuju ke seberang
sungai. Sesampainya di tengah sungai, seekor buaya menuju ke arahnya.
Tanpa
ragu-ragu, Pogi memukul moncong buaya itu dengan karung yang
dipanggulnya. Buaya itu malah membuka moncongnya. Pogi tak banyak
berpikir. Dilemparnya karung berisi emas itu ke arah buaya. Lemparan
tepat sekali. Buaya itu kesulitan mengunyah karung. Pogi merasa musuhnya
lengah. Ia berenang ke tepian secepatnya.
Sejak
kejadian itu, Pogi menjadi sadar., ternyata emas tidak mendatangkan
keberuntungan baginya. Justru mendatangkan bahaya. Sejak itu Pogi
menjadi rajin dan bijaksana.
Sumber : Aku Cinta Bahasa Indonesia kelas IV , Tiga Serangkai
Contoh Hikayat
Hikayat Amir
Dahulu
kala di Sumatra, hiduplah seorang saudagar yang bernama Syah Alam. Syah
Alam mempunyai seorang anak bernama Amir. Amir tidak uangnya dengan
baik. Setiap hari dia membelanjakan uang yang diberi ayahnya. Karena
sayangnya pada Amir, Syah Alam tidak pernah memarahinya. Syah Alam hanya bisa mengelus dada.
Lama-kelamaan
Syah Alam jatuh sakit. Semakin hari sakitnya semakin parah. Banyak uang
yang dikeluarkan untuk pengobatan, tetapi tidak kunjung sembuh.
Akhirnya mereka jatuh miskin.
Penyakit
Syah Alam semakin parah. Sebelum meninggal, Syah Alam berkata”Amir,
Ayah tidak bisa memberikan apa-apa lagi padamu. Engkau harus bisa
membangun usaha lagi seperti Ayah dulu. Jangan kau gunakan waktumu
sia-sia. Bekerjalah yang giat, pergi dari rumah.Usahakan engkau terlihat
oleh bulan, jangan terlihat oleh matahari.”
”Ya, Ayah. Aku akan turuti nasihatmu.”
Sesaat
setelah Syah Amir meninggal, ibu Amir juga sakit parah dan akhirnya
meninggal. Sejak itu Amir bertekad untuk mencari pekerjaan. Ia teringat
nasihat ayahnya agar tidak terlihat matahari, tetapi terlihat bulan.
Oleh sebab itu, kemana-mana ia selalu memakai payung.
Pada
suatu hari, Amir bertmu dengan Nasrudin, seorang menteri yang pandai.
Nasarudin sangat heran dengan pemuda yang selalu memakai payung itu.
Nasarudin bertanya kenapa dia berbuat demikian.
Amir
bercerita alasannya berbuat demikian. Nasarudin tertawa. Nasarudin
berujar, ” Begini, ya., Amir. Bukan begitu maksud pesan ayahmu dulu.
Akan tetapi, pergilah sebelum matahari terbit dan pulanglah sebelum
malam. Jadi, tidak mengapa engkau terkena sinar matahari. ”
Setelah
memberi nasihat, Nasarudin pun memberi pijaman uang kepada Amir. Amir
disuruhnya berdagang sebagaimana dilakukan ayahnya dulu.
Amir lalu berjualan makanan dan minuman. Ia berjualan siang dan malam. Pada
siang hari, Amir menjajakan makanan, seperti nasi kapau, lemang, dan es
limau. Malam harinya ia berjualan martabak, sekoteng, dan nasi goreng.
Lama-kelamaan usaha Amir semakin maju. Sejak it, Amir menjadi saudagar
kaya.
Sumber : Bina Bahasa dan Sastra Indonesia kelas IV: Erlangga
Makasih bgt bro info nya, sangat bermanfaat buat anak saya. hehe
BalasHapusJangan Lupa mampir ke blog EXPO Lowongan Kerja Terbaru ane ya Lowongan Kerja BANK Terbaru
Contoh sejarah nya gak ada??
BalasHapusAh masok
BalasHapus